Maqasid Syariah

Asnan Purba, Lc., M.Pd.I.,QWP,CWC 13 Jun 2024

MAQASID SYARI’AH

Majalah Gontor  Edisi 08 Tahun XVII Rabiul Akhir -Jumadil Awal 1441 H / Desember 2019

 

Pendahuluan 

Agama islam mensyari’atkan kepada umatnya ketentuan-ketentuan hukum yang bertujuan mengarahkan mereka untuk dapat mengetahui hakekat daripada disyari’atkannya agama islam itu sendiri, agar dapat menjalankannya dengan baik dan benar. Sudah barang tentu ia mempunyai asas dan tujuan yang nantinya kembali kepada kemaslahatan umatnya sendiri. 

Untuk itu perlu adanya pemahaman yang baik terhadap apa yang disebut dengan Maqasid Syari’ah, sehingga ketika seorang hamba menjalankan ketentuan syari’at islam tidak linglung dan ragu, bahkan mampu menjalankannya dengan penuh keyakinan sehingga tercapailah apa yang diinginkan oleh islam itu sendiri.

            Secara umum Maqasid Syari’ah terdiri dari dua suku kata yaitu Maqasid dan Syari’ah. Adapaun Maqasid secara bahasa adalah maksud (tujuan) yang lurus, sebagaimana firman Allah dalam surat an Nahl ayat 9 yang berbunyi "Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus " Sedangkan secara istilah adalah tujuan atau maksud yang diharapakan dapat menjadikannya lurus, adil dan teguh.

            Adapun Syari’ah secara bahasa adalah merupakan jalan, yaitu dimana ia diibaratkan seperti aliran air yang dijadikan sebagai tempat melepas dahaga bagi orang yang singgah ketempat tersebut. Secara istilah adalah jalan ataupun metode yang lurus yang diridhoi oleh Allah swt untuk hamba-Nya yang didalamnya terdapat hukum-hukum yang telah ditentukan.[1]

            Sedangkan definisi Maqasid Syari’ah banyak sekali istilah yang diterangkan oleh para ulama, yang paling mendekati diantaranya adalah: 

Menurut Imam Syatibi Maqasid Syari’ah adalah “Pembentukan maslahat bagi hamba-Nya baik didunia dan diakhirat terhadap ketentuan yang menjadikannya hamba Allah, hamba yang terpilih secara alamiah”. 

Sedangkan menurut Imam Ibnu 'Asyur adalah “Makna dan ketentuan hukum dari Allah swt dalam setiap hal ihwal syari’at atau sebagian besarnya dimana ketentuannya tidak terbatas terhadap suatu masa dari hukum syari’at tersebut”.[2]

 

Klasifikasi Maqasid Syariah

Maqasid Syari’ah digolongkan kepada maslahat terhadap hambanya ada tiga tingkatan yaitu:

            Maqasid Dharuriyyah (Pokok) yaitu Maqasid yang mau tidak mau harus dikerjakan karena ia berkaitan dengan keberlangsungan hidup manusia seperti lima hal yang telah menjadi kewajiban muslim untuk menjaganya yaitu kewajiban untuk menjaga agamanya, hartanya, jiwanya, keturunannya , dan akalnya.  Dari sisi penjagaannya meliputi bagaimana mempertahankan eksistensinya ( keberadaanya) dan mencegahnya  dari kemusnahan. 

Adapun Agama dengan mengirimkan Rasul-rasul-Nya untuk menjelaskan segala syari’at Allah dimuka bumi adalah wujud untuk mempertahankan keberadaan agama tersebut disamping memerangi orang-orang Kafir dan Murtad (keluar dari islam) untuk mencegah agama dari fitnah dan kerusakan. 

Sedangkan jiwa dipertahankan dengan memberikan hak manusia untuk hidup seperti makan, minum, dan mencegah dari hal-hal yang membahayakan jiwa manusia, disamping diharamkannya saling bunuh membunuh, dan disyari’atkannya  Qisas (hak menuntut balas) untuk mencegah hilangnya jiwa secara sia-sia. Sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud yang berbunyi”Bahwa yang  pertama kali dihisab (dipertanyakan) antara umat manusia dihari kiamat adalah dalam hal darah (jiwa) (HR Bukhori dan Muslim). 

Selanjutnya akal dipertahankan dengan jalan memberikan akal ruang seluas-luasnya untuk merenungi ciptaan Allah dan memetik hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya. Hal ini banyak sekali disinggung oleh alqur’an dengan sinonim kata diantaranya adalah apakah kamu tidak berfikir ? Apakah kamu tidak berakal ? Apakah kamu tidak mengetahui?   disamping diharamkannya akal dipergunakan untuk melawan ciptaan Allah, karena keterbatasan akal yang dimiliki manusia sebagaimana perkataan hikmah “Akal itu bisa mencapai sesuatu dengan mempergunakan perantara dan perantara itu terbatas adanya maka nilainya/hasilnya adalah akal itu terbatas”         

Kemudian keturunan dipertahankan dengan disyari’atkannya nikah dan aturan-aturan yang berkaitan dengannya sehingga sang anak mempunyai nasab keturunan yang jelas dan dari darah yang suci dan sah disamping diharamkan menikahi keluarga sendiri dan zina, karena zina itu merusak sistem keturunan manusia sehingga lahirlah anak-anak yang tidak tahu siapa Ibu dan Bapaknya. Allah swt melarang keras orang yang melakukan zina bahkan mendekatinya pun tidak boleh sebagaimana firman Allah swt dalam surat  al Isra’ ayat 32 yang berbunyi”Dan janganlah kamu mendekati zina ( yaitu hal-hal yang mengarah untuk berbuat zina) sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” . 

Selanjutnya harta dipertahankan dengan jalan memberikan manusia jalan yang seluas-luasnya untuk mencari rezeki dan menginfakkannya disamping diharamkan untuk melakukan penimbunan harta dan melakukan riba dan mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil sebagaimana firman Allah swt dalam surat al Baqarah ayat 188 yang berbunyi “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda daripada orang lain dengan jalan (berbuat) dosa padahal kamu mengetahui” 

            Maqasid Hajiah (Kebutuhan Sekunder) adalah Maqasid pada tingkatan kedua yang merupakan kebutuhan utama juga tetapi tidak sampai kepada tingkat darurat seperti adanya Rukhsah (keringanan) dalam beribadah dan bermuamalah diantaranya adalah: Mengangkat kesusahan dan beban yang mereka tidak mampu memikulnya dan memberikan kemudahan, karena agama islam tidak memberikan beban kecuali manusia itu mampu memikulnya sebagaimana firman Allah swt dalam surat al Baqarah ayat 286 yang berbunyi “Allah swt tidak sekali-kali membebani seseorang  melainkan sesuai dengan kesanggupannya ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan ) yang dikerjakannya” 

            Maqasid Tahsiniyyah (Pelengkap/Tersier) yaitu hal yang tidak berkaitan dengan kebutuhan ataupun darurat tetapi kembali kepada hal sifatnya adalah keindahan dan kesempurnaan,bukankah hal yang indah itu menambah kepada kesempurnaan dan kepuasan batin ? Rasulullah saw bersabda “sesungguhnya Allah swt itu indah  dan menyukai keindahan” ( HR Muslim) 

Maqasid di lihat dari segi lain meliputi umum dan khusus yaitu:

Maqasid dilihat dari segi lain meliputi umum dan khusus yaitu:       

Maqasid Umum (Lingkup yang besar) adalah segala bentuk ketentuan umum yang  dijaga oleh syari’at untuk kemaslahatan umat dari segala bentuk perbuatan manusia seperti bentuk penyembahan kepada Allah dengan  tidak mensekutukan-Nya, menjaga  lima hal yang menjadi kebutuhan manusia yaitu akal,agama,harta,keturunan, dan jiwa, menjaga bumi dan isinya dari kerusakan dan kezaliman, mengambil dan memanfaatkan hal-hal yang mengandung maslahat dan menjauhkan/menghindari hal -hal yang berbahaya, menegakkan persamaan, memudahkan dan tidak mempersulit,dan  lain sebagainya.

            Sedangkan Maqasid Khusus (Lingkup yang kecil) adalah kebalikan dari Maqasid Umum yaitu yang membahas ketentuan dari salah satu bagian dari Maqasid Umum ,dan dalam hal ini banyak dibahas  dalam kitab-kitab fiqih seperti contoh dalam bab ibadah seperti puasa,sahalat dan bermuamalah seperti jual beli, pinjam meminjam dan lain sebagainya. Allah swt selalu menganjurkan kepada hamba-Nya untuk selalu mengingat-Nya dimana saja berada dan menjalankan ibadah  dengan baik dan benar, sebagaimana firman Allah dalam sebuah Hadits Qudsi yang berbunyi” Aku (Allah ) berada pada persangkaan hamba-Ku, dan Aku (Allah ) akan senantiasa bersamanya jika ia mengingat-Ku, apabila ia mengingat-Ku didalam dirinya maka Aku akan mengingatnya didalam diri-Ku, dan apabila ia mengingat-Ku didalam keadan ramai maka Aku akan mengingatnya  didalam keadaan yang lebih baik dari keadaan mereka (HR Bukhori).[3]     

            Adapun nilai dan pengaruh dari pemahaman yang baik terhadap Maqasid Syari’ah ini adalah :

1. Menjaga seorang Mukmin agar dapat terjaga dari kesalahan dan kealpaan.

2. Dalam memahami Maqasid sehingga selaras antara Maqasid pribadinya dan Maqasid dari    Allah swt sehingga tidak terbawa oleh hawa nafsu belaka firman Allah swt dalam surat Shad ayat 26 yang berbunyi"Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,    karena  ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah"

3. Membantu Mukmin agar dapat melaksanakan ketentuan syari’at dengan baik dan benar dimana pelaksanaan yang baik adalah juga merupakan salah satu     kesempurnaan  dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah swt.

4. Dapat membedakan antara hukum yang membawa maslahat atau membawa kepada bahaya, dan memilih mana yang lebih prioritas atau mana yang tidak, serta      meninggalkan hal-hal yang meragukan sesuai dengan kaedah Fiqih yang      berbunyi”Tinggalkanlah hal yang meragukanmu kepada hal yang tidak      meragukanmu”

5. Mampu menafsirkan permasalahan hukum dengan baik sehingga tidak    menghilangkan Maqasid Umum dari syari’at tersebut. Maka tidak heran ketika Abu    Bakar ra memerangi para pengingkar zakat walaupun sebagian sahabat ada yang     menentang rencana peperangan tersebut, Umar ra juga menghentikan pemberian zakat kepada Muallaf (orang yang baru masuk islam)   karena pada masa itu para Muallaf  sudah mapan kehidupannya sehingga  sudah tidak memerlukan sokongan harta lagi, dan bagian mereka dimasukkan ke Baitul Mal. Dan meniadakan hukum potong tangan bagi yang mencuri ketika dalam keadaan paceklik (masa kelaparan yang berkepanjangan)

6. Dengan pemahaman yang benar dapat membuka mata orang non muslim bahwa Maqasid dan kaedah islam sesuai dengan fitrah manusia dan diperuntukkan untuk      kemaslahatan umat manusia.

7. Dengan pemahaman yang baik dapat menghilangkan segala keraguan yang     dihembuskan oleh orang-orang yang dengki dan benci kepada islam sehingga mampu menerangi dan mengarahkan setiap prilaku muslim dari segala kesesatan dan kekhilafan.

Penutup          

            Inilah sekedar paparan singkat mengenai Maqasid Syari’ah yang dapat Penulis sampaikan mudah-mudahan kita dapat menjalankan syari’at islam dengan baik dan benar sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang menjalankan ajaran islam dengan membabi buta dan tidak pula terlalu meremehkan sehingga lalai terhadap ketentuan syari’at yang hal tersebut akan berakibat fatal terhadap umat islam sendiri disamping menimbulkan image yang kurang baik dikalangan non Muslim. 

Sebagaimana perkataan Syeikh Atiyyah Saqar “Berapa banyak hal yang aib (perkataan yang salah) itu berubah menjadi perkataan yang benar, hanya dikarenakan pemahaman yang salah dan kurang baik”.[4]

            Setiap perbuatan dari seluruh anggota tubuh  kita ini pada hari kiamat nanti akan dipertanyakan dihadapan Allah swt sampai sejauh mana kita mempergunakannya untuk beribadah kepada Allah swt ,dan kita harus mempertanggung jawabkan semua itu dihadapan yang maha agung Allah swt sebagaimana firman-Nya dalam surat al Isra’ ayat 36 yang berbunyi”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. 

Disini Allah swt akan menghitung dan memutuskan dengan seadil-adilnya, tidak ada yang yang terzalimi ataupun teraniaya terhadap keputusan tersebut. Sebagaimana firman Allah swt  dalam surat Qaf  ayat 29 yang berbunyi”Keputusan disisi-Ku tidaklah dapat diubah dan Aku tidaklah sekali-kali berbuat aniaya terhadap hamba-hamba-Ku”.[5]

 

Daftar Pustaka

Baalbaki, Rohi, Al Mawrid (A Modern Arabic English Dictionary), cet.X, Dar el Malayin, Beirut Lebanon

Alwani, Toha Jabir, Adab al Ikhtilaf fil Islam, cet.VI, Dar el Alamiyah lil Kitab al Islamy, Saudi Arabia, Riyadh

Zuhaily, Wahbah, al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu, cet IV, Dar el Fikr, Suriah Damaskus

Saqr, Athiyyah, Mausu’atul Usroh Tahta Ria’yatil Islam, cet I, Dar el Mishriyyah lil Kitab, Mesir Kairo

Republik Arab Mesir, Kementrian Wakaf, Tafsir al Muntakhob, cet. XIX, Majlis A’la li Syuun Islamiyah, Mesir Kairo  


 

[1] Lihat lebih lanjut , Dr Rohi Baalbaki, A Modern Arabic - English Dictionary, Dar el –Ilm Lil Malayin, Beirut, Cet.X,1997,hal.1090

[2] Dr. Toha Jabir el alwani, Adabul Ikhtilaf Fil Islam, Dar el Alami lil Kitab Islami, Saudi Arabia, cet.VI, 1995, hal.46 

[3] Prof. Dr. Ahmad Wahbah Zuhaily, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dar el Fikri, Beirut, cet.IV,Juz II, 2004, hal. 1475

[4] Athiyyah Saqr, Mausu’atul Usroh Tahta Ri’ayatil Islam (Huquq Jauziyyah), al Dar al Mishriyyah lil Kitab,Kairo, cet.I, 1989, hal.7

[5] Lihat lebih lanjut, Majils A’la li syuun Islamiyah, Tafsir al Muntakhob, Mathabiul Ahram, Kairo, cet.XVI,2000, hal.768